Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai pada Seni Pertunjukan Wayang


Tulisan ini merupakan Makalah dari Mata Kuliah Pemetaan dan Strategi Pelestarian Budaya

di Fakultas Ilmu Budaya UNPAD Bandung

Tahun 2013

 

A. Latar Belakang

Kesenian merupakan satu sistem kebudayaan universal yang terdapat disetiap masyarakat dunia. Seni pertunjukan wayang sebagai bentuk kesenian masyarakat Jawa berperan besar dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan masyarakat atau bangsa semakin besar pengaruh yang masuk dan diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam era global ini batas-batas budaya menjadi kabur, kesenian wayang yang semula memiliki makna “tuntunan” cenderung hanya menjadi “tontonan” saja. Adalah tugas kita bersama untuk merevitalisasi nilai-nilai (value) berupa falsafah hidup yang terdapat dalam kesenian wayang ini sebagai bentuk upaya pelestarian budaya, di tengah kecenderungan derasnya value komersialisasi dan sekularisasi yang mengitari masyarakat kita. Bagaimana wayang sebagai artefak budaya tetap dapat memegang aspek-aspek fungsional; ekonomi, edukasi, dan ideologi secara harmonis ?

Banyak upaya revitalisasi value tersebut dalam seni pertunjukkan wayang telah dilakukan sekaligus memunculkan pro dan kontra terhadap bentuk-bentuk upaya tersebut. Di satu sisi banyak pihak yang menginginkan menginginkan “kemurnian” bentuk dan nilai-nilai seni tradisional tersebut. Di sisi lain banyak pihak yang secara kreatif mencoba mengartikulasikan nilai-nilai seni tradisional ke dalam realitas kehidupan masyarakat kontemporer. Salah satu bentuk artikulasi nilai-nilai seni tradisional wayang dalam kehidupan kontemporer masyarakat Jawa adalah “isi” yang ditawarkan dalam film Opera Jawa. Film ini menarik untuk dikaji sebagai salah satu upaya revitalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam seni pertunjukan wayang yang ditawarkan oleh institusi pembuatnya.

 

B. Obyek Analisis

Film “Opera Jawa” adalah film dari sutradara Garin Nugroho yang diproduksi tahun 2006. Film mengambil narasi epik Ramayana sebagai narasi acuannya, dengan tokoh-tokoh dan setting masyarakat Jawa (Solo) kontemporer. Pembabakan narasi pada film ini sama dengan pembabakan yang ada dalam seni pertunjukan wayang kulit Ramayana yaitu; (a) babak eksposisi; (b) babak komplikasi;  (c) babak klimaks; (d) babak resolusi, dan setiap awal babak pada film ini ditampilkan gunungan wayang.

 

C. Landasan Pemikiran

Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju dan berkembang, apabila di dalamnya ada anasir baru (Haryono, 2009: 2). Tumbuhnya anasir baru bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu penemuan (invensi) atau karena pencampuran (akulturasi). Kontak budaya yang pernah terjadi antara kebudayaan nusantara dengan kebudayaan asing, tidak berarti kebudayaan nusantara semata-mata dalam kondisi pasif akan tetapi “local genius” telah berperan aktif (Wales dalam Haryono, 2009). Nenek moyangbangsa Indonesia telah berperan aktif memilah dan memilih unsur-unsur kebudayaan asing yang kemudian disesuaikan dengan kebudayaan lokal. Perkembangan media (elektronik) dan budaya pop yang ikut mempengaruhi perubahan peran seni tradisional dalam kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer yang pada awalnya lebih besifat ritual mengalami proses komersialisasi dan sekularisasi (Susatyo, 2008).

Salah satu strategi jangka panjang yang dicanangkan oleh Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi) dalam upaya melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan seni wayang berupa revitalisasi dan reaktualisasi seni pewayangan di tengah peradaban modern. Implementasi dari strategi tersebut antara lain meningkatkan kualitas penyajian karya seni pewayangan/tradisi dengan aktualisasi struktur, estetika, dan teknologi sehingga mampu diterima dalam dunia modern. Seni pewayangan dapat direaktualisasikan ke dalam Seni widya, Seni Pertunjukkan, Seni Rupa, Seni Sastra, Seni Sinematografi/Multimedia.

 

 

D. Pembahasan

Garis besar cerita film Opera Jawa ini adalah konflik antar pribadi dan konflik antar kelompok. Konflik antar pribadi dipicu oleh kisah cinta segitiga antara Setyo, Siti, dan Ludiro. Siti, seorang mantan penari yang menikah dengan Setyo, seorang pengusaha gerabah. Ludiro adalah seorang pengusaha besar di tempat mereka bermukim, yang dengan kekeuasaannya ingin menguasai apa pun yang diinginkannya. Siti seorang istri merasa kesepian ditinggal suaminya – Setyo, mencari nafkah. Siti sebagai seorang manusia yang menyimpan hasrat atas pemenuhan seksual, kepemilikan material dan kesenangan hidup. Hal tersebut memberikan peluang bagi Ludiro – yang mencintai dan ingin memiliki Siti, untuk merayu dan menggoda Siti dengan kekuasaan penguasaan ekonomi (material) yang dimilikinya. Siti yang tertarik atas godaan Ludiro mendapat perlakuan kasar dan merendahkan dirinya sebagai seorang manusia dari Ludiro, membuatnya mengambil keputusan untuk meninggalkan Ludiro. Dengan keputusan yang telah diambilnya, Siti siap dengan resiko yang akan didapatnya, termasuk dengan pembuktian kesetiaan dan cintanya kepada Setyo, suaminya. Ketertarikan Siti atas godaan Ludiro, telah membuat Setyo menyangsikan kesetiaan dan cinta istrinya tersebut. Kekecewaan Setyo atas sikap istrinya, bertambah dengan ketidakberdayaannya sebagai pengusaha kecil yang diperlakukan secara sewenang-wenang oleh kekuatan besar dominasi ekonomi (Ludiro dan pengikutnya). Ludiro yang kecewa atas penolakan cintanya oleh Siti, membuatnya semakin bernafsu untuk menunjukkan kekuasaan dan dominasi ekonomi yang dimikilinya. Hal tersebut membuat konflik antar kelompok (kekuatan penguasaan ekonomi), dan konflik antar pribadi (antara Setyo, Siti, dan Ludiro) yang membawanya pelaku-pelakunya ke dalam tragedi.

Lewat film Opera Jawa, Garin Nugroho sebagai sutradara melakukan dekonstruksi terhadap tokoh-tokoh, perpindahan ruang, pesan dan makna, serta narasi dari epik Ramayana karya Walmiki yang menjadi rujukannya. Banyak menggunakan metafora eufemistis yang bersifat elutif merupakan gaya ungkap yang digunakan dalam dekonstruksi terhadap pesan dan makna. Dengan keragaman tingkat dan jenis referensi pengetahuan dan pengalaman penonton, sifat elutif ini di sisi lain justru memberikan peluang wacana baru bagi stimulasi ketertarikan penontonnya. Pesan dan makna pada film Opera Jawa ini merefleksikan persoalan gender, feminisme, dominasi maskulinitas, dominasi kekuasaan, pertentangan kelas, dan kapitalisme di tengah kehidupan masyarakat patriarkal dalam sosio-budaya Jawa kontemporer. Garin sebagai seorang sineas mengaktualisasikan epik Ramayana yang menjadi rujukan ke dalam konteks masyarakat Jawa kontemporer.

 

E. Simpulan

Strategi pelestarian budaya melalui revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai (values) berupa nilai-nilai hakiki dan falsafah hidup pada seni pertunjukan wayang (dengan narasi Ramayana) dapat dilakukan dengan penyampaian ke dalam  bentuk medium baru berupa medium film. Medium film ini relatif lebih mudah “diakrabi” oleh generasi muda sebagai kelompok sasaran kepada siapa values dari seni pertunjukan wayang tradisional tersebut  disampaikan. Di samping itu cara menyampaikan pesan yang Sutradara film “Opera Jawa” ini dengan mendekatkan nilai-nilai yang hendak disampaikan dengan cara berdialog dengan realitas masyarakat Jawa kontemporer, membuat nilai-nilai yang hendak disampaikan kepada audiensnya menjadi “tidak berjarak”. Pengalihbentukan media ini bisa saja menimbulkan selisih pendapat dalam strategi pelestarian budaya, akan tetapi diatas semua itu adalah kepentingan tranfer nilai-nilai kebaikan, strategi ini hanyalah sebuah alternatif tawaran yang menarik.

 

 

Daftar Pustaka

Haryono, Timbul. 2009. Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Susatyo, Rachmat. 2008. Seni dan Budaya Politik Jawa. Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial.

Norris, Christopher. 1991. Deconstruction Theory and Practice. London: Routledge.

 

 

Sumber Lain

Belasunda, Riksa. 2012. Tesis: Hibriditas Medium pada Film “Opera Jawa” Karya Garin Nugroho Sebagai Sebuah Dekonstruksi. Institut Teknologi Bandung.

http://senawangi.org/ diunduh jam 9:08 tanggal 05 Januari 2013


Leave a Reply