Proyek Film Indie sebagai Model Pembelajaran Eksplorasi Kreatif dalam Pendidikan Seni


Paper pada

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”

Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

 

Penulis:

Riksa Belasunda

Setiawan Sabana

 

Abstrak

 

Penggunaan media film sebagai media pembelajaran yang dianggap efektif, namun masih sering dianggap rumit dan berbiaya tinggi. Saat ini tersedia teknologi pembuatan film yang mudah dan murah memungkinkan lebih banyak orang dapat mengakses dan terlibat dalam produksi film. Film indie sebagai film yang proses produksinya relatif mudah dan murah dapat dijadikan sebagai sumber daya media pembelajaran dalam proses pembelajaran pendidikan seni. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan cultural studies melalui metode penelitian interdisiplin fenomenologi dengan teknik deskriptif interpretatif. Dalam proyek film indie, peserta didik sebagai individu (kreator) melakukan eksplorasi kreatif untuk mengekspresikan gagasan dan pesan yang hendak disampaikannya. Ekspresi gagasan kreator sebagi proses ungkapan emosional dan intelektual diformulasikan ke dalam teks film. Formulasi  tersebut merupakan upaya kreatif personal dalam mengungkapkan ide, gagasan, dan pesannya tersebut. Ekplorasi kreativitas tidak hanya berhenti pada tataran gagasan, akan tetapi dapat direalisasikan pada tahap produksi melalui manajemen inovasi.

Katakunci: pendidikan seni, film indie, eksplorasi kreatif

 

1. Pendahuluan

Perkembangan budaya termasuk ke dalamnya perubahan cara pandang atas hal-hal esensial dalam bidang pendidikan seni serta perkembangan teknologi – khususnya perkembangan media, membawa pengaruh terhadap proses pembelajaran pendidikan seni. Muncul permasalahan yang berkaitan dengan perubahan pendidikan seni; (a) bagaimana seni sebaiknya diajarkan kepada peserta didik, (b) bagaimana pendidik memberikan motivasi berkarya kepada peserta didik, (c) penggunaan sumber daya dalam pendidikan seni. Termasuk ke dalam sumber daya tersebut adalah kemudahan akses pendidik dan peserta didik atas media baru. Banyak penelitian yang berkaitan dengan  penggunaan media film sebagai media pembelajaran yang dianggap efektif. Hal tersebut dimungkinkan karena media film mempunyai bayak keunggulan sebagai media pembelajaran – media untuk menyalurkan informasi dari pendidik ke peserta didik atau sebaliknya. Keunggulan media film yang memanfaatkan medium audio-visual sebagai media pembelajaran, antara lain; menumbuhkan minat dan motivasi belajar pada peserta didik, 50 persen materi ajar dalam bentuk audio-visual akan mampu diingat oleh peserta didik (Edgar Dale).

Di samping keunggulan keunggulan tersebut, film sebagai media pembelajaran masih sering dianggap rumit dan berbiaya tinggi dalam proses produksinya. Saat ini semakin banyak tersedia teknologi pembuatan film yang mudah dan murah memungkinkan lebih banyak orang dapat mengakses dan terlibat dalam produksi film. Pembuatan film tidak lagi selalu harus berbiaya tinggi dan rumit, pemanfaatan produk teknologi visual digital dalam perfilman memungkinkan orang untuk membuat film dengan biaya murah dan mudah. Film indie sebagai film yang proses produksinya tidak terlalu rumit dengan anggaran produksi yang relatif lebih rendah dapat dijadikan sebagai sumber daya media pembelajaran dalam proses pembelajaran pendidikan seni.

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pembuatan proyek film indie dilakukan pada model pembelajaran Project Base Learning sebagai model eksplorasi kreatif dalam pendidikan seni.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan cultural studies melalui metode penelitian interdisiplin fenomenologi dengan teknik deskriptif interpretatif. Berkaitan dengan obyek penelitian, fenomenologi digunakan untuk mengkaji bagaimana kreator atau institusi pembuat film indie mengekspresikan ide, gagasan, dan pesan yang hendak disampaikannya dalam konstruksi teks film.

 

3. Pembahasan Hasil

Berdasar kajian atas obyek penelitian film Indie dikaitkan dengan pemilihan metode pembelajaran pendidikan seni yang memfokuskan perhatiannya pada eksplorasi kreatif, hasil kajiannya sebagai berikut:

 

3.1 Pendidikan Seni

3.1.1 Tujuan dan Fungsi

Pendidikan seni adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan kreatif-ekspresif peserta didik dalam mewujudkan kegiatan artistiknya berdasarkan kaidah estetika tertentu. Tujuan pendidikan seni terdiri dari wawasan seni, apresiai dan kritik seni, serta kegiatan produktif. Di Indonesia tujuan pendidikan seni – khususnya pendidikan seni di SMA, adalah mengembangkan; kepekaan rasa, kreativitas, cita rasa estetis, etika, kesadaran sosial, kesadaran kultural, rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia.

Pendidikan seni diarahkan  untuk menumbuhkan rasa estetik dan artistik sehingga membentuk sikap kritis, apresiatif, dan kreatif. Dilakukan melalui serangkaian proses kegiatan peserta didik yang meliputi; pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui kegiatan peserta didik dalam aktivitas seni. Pendidikan seni melibatkan aktivitas fisik serta rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi, dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak, dan peran dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat (Diknas, 2004).

Bagi peserta didik, pendidikan seni berfungsi sebagai:

(a) media ekspresi, pendidikan seni dapat digunakan sebagai sarana penyaluran atau pengungkapan perasaan;

(b) media komunikasi, pendidikan seni dapat digunakan menyampaikan pesan kepada orang lain, peserta didik dapat berkomunikasi dengan orang lain melalui karyanya;

(c) media bermain, pendidikan seni sebagai penyeimbang kegiatan belajar, bersifat rekreatif dan menyenangkan;

(d) pengembangan bakat dan kreativitas, pendidikan seni dapat digunakan untuk memupuk dan pengembangan bakat melalui berbagai aktivitas seni.

 

3.1.2 Pendekatan dan Metode Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran merupakan konsep awal capaian pembelajaran yang efektif. Pendekatan pembelajaran lebih luas dan bersifat umum dibandingkan dengan metode pembelajaran. Dalam pembelajaran pendidikan seni dilakukan pendekatan pembelajaran imajinasi-kreatif. Imajinasi-kreatif adalah kegiatan pengembangan kreativitas yang menekankan pengembangan imajinasi dalam memunculkan gagasan, sebagai dasar pemecahan masalah.

Pendekatan pembelajaran ini terdiri atas:

(a) Fluency, yakni kelancaran munculya gagasan bermula dari suatu rangsang persepsi visual atau auditori. Hal yang penting dalam kegiatan ini adalah kebebasan berpikir, mengutamakan jumlah yang banyak dan memiliki relevansi dengan apa yang ditanggapi;

(b) Flexibility, yaitu keluwesan dalam berpikir, mampu merubah dan menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi, mampu memberi sudut pandang yang berbeda dan alternatif lain dalam menyelesaikan masalah;

(c) Elaboration, yakni kemampuan mengembangkan, melengkapi, memperkaya, memperjelas hal-hal yang masih sederhana menjadi sesuatu kesatuan yang lengkap dan harmonis;

(d) Asosiatif, yakni kemampuan berpikir imajinatif berdasar suatu rangsang visual maupun auditori dan menghubungkan sumber rangsang tersebut dengan sesuatu yang lain;

(e) Analog, yaitu mengandaikan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun memiliki persamaan dalam beberapa hal.

Melalui pendekatan pembelajaran tersebut, diharapkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar. Pengalaman belajar yang dapat diperoleh peserta didik adalah:

(a) Direct, belajar membuat karya dengan melihat objek alami secara langsung;

(b) Intuitive, adalah belajar bagaimana mendapatkan cara baru dalam membuat karya dengan bahan dan rangsangan dari lingkungan eksternal yang ada;

(c) Remembered, membuat karya dengan mengingat kejadian, benda, binatang, manusia, mimpi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan apa yang diingat;

(d) Imagined, membuat karya dengan mengimajinasikan sesuatu yang tidak dan belum ada sebelumnya. Melalui kegiatan ini siswa dapat melakukannya secara visual, auditori, kinestetik, dan acting;

(e) Mediated Image And Object, membuat karya berdasarkan benda-benda manusia (barang bekas). Dalam merespon atau membuat karya melalui mediasi benda buatan peserta didik dapat melakukannya secara visual, auditori, kinestetik, dan acting;

(f) Qualities And Relationship, membuat karya dengan terlebih dahulu mengamati qualitas dan hubungan antar unsur pada obyek alami. Selain belajar dengan praktik membuat karya, belajar mengamati sebenarnya bertujuan mengasah kepekaan oleh karena itu dapat dilakukan dengan mengamati alam maupun karya.

Metode pembelajaran seni berpedoman pada tujuan (capaian) pembelajaran terkait dengan pendekatan, pengalaman dan proses belajar peserta didik. Metode pembelajaran yang umum digunakan, seperti; ceramah, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, penugasan, meniru, percobaan, observasi, dan permainan. Di samping itu pendidik dapat menggunakan model-model pembelajaran dengan pendekatan Sudent Centered Learning (SCL) yang menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Model-model pembelajaran ini antara lain; Small Group Discussion, Role-Play and Simulation, Case Study, Discovery Learning, Self-Directed Learning, Cooperative Learning, Collaborative Learning, Contextual Instruction, Project Base learning, Problem Based Learning and Inquiry (KKNI-DIKTI, 2013)

3.2 Project Base Learning

Pelaksanaan pembelajaran pada pendidikan seni meliputi:

(a) aspek pengetahuan seni, berkenaan dengan pembahasan karakteristik masing-masing cabang seni berkaitan dengan jenis, bahan, alat, teknik, unsur, prinsip, jenis, dan sejarah perkembangannya;

(b) aspek apresiasi, berkaitan dengan  respon peserta didik atas karya yang dihadapinya;

(c) aspek pengalaman kreatif, berkaitan dengan pembelajaran penciptaan atau pembuatan karya seni langsung. Praktek tersebut adalah pengalaman kreatif yang berkaitan dengan penuangan gagasan dan penguasaan media, dan penguasaan teknik.

Project Base Learning merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan SCL. Bentuk pembelajaran pada model ini; (a) peserta didik mengerjakan tugas – bisa secara individu mau pun kelompok, berupa proyek yang telah dirancang secara sistematis, (b) peserta didik menunjukkan kinerja dan mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya di forum. Untuk capaian pembelajaran, diharapkan agar mahasiswa belajar – baik individu mau pun kelompok, tentang pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian/penggalian (inquiry) yang terstruktur dan kompleks. Pendidik merumuskan dan melakukan proses bimbingan dan asesmen.

 

3.3 Kreativitas dan Inovasi

Kreativitas yang seringkali dianggap sebagai ranah individu seniman maupun inovasi yang dianggap lebih berkaitan dengan konteks organisasi (Fritzgibbon, 2001). Perbedaan keduanya menyangkut orisinalitas yang disebabkan oleh proses-proses sosial yang bersifat relatif bahkan berlawanan, di samping kreativitas yang merupakan perpaduan dari ide atau disiplin yang berbeda dengan memanfaatkan tradisi atau pengetahuan secara iluminatif. Merelealisasikan kreativitas dianggap sebagai ranah inovasi dengan menggunakan beberapa level manajemen. Dalam proses inovasi, kreativitas cenderung membutuhkan upaya keras pada berbagai tahap produksi, hal ini berkaitan erat dengan realisasi ide, pelaksanaan, tahap difusi, dan tidak hanya terbatas pada tahap pengembangan ide.

Kreativitas terwujud melalui manajemen inovasi. Manajemen inovasi berkaitan dengan elemen-elemen;

(a) manusia dan gagasan,

(b) transaksi, yang terdiri dari struktur organisasi, desain pekerjaan, strategi organisasi, dan sumber daya,

(c) konteks, yang terdiri dari konsep kepemimpinan, budaya, dan lingkungan eksternal.

3.4 Film Indie sebagai Media

Film merupakan rangkaian gambar yang diproyeksikan di atas layar dengan kecepatan yang sesuai bertujuan menciptakan ilusi dari gerak yang berkelanjutan (Marcel Danesi, 2009: 122). Film sebagai media bertujuan menyampaikan peristiwa/praktik budaya dan fenomena sosial kepada penonton (audiens) luas dengan komunikasi massa melalui sistem media massa. Dalam konteks film sebagai media komunikasi; kreator film berperan sebagai pengirim pesan atau gagasan, penonton film sebagai pembaca gagasan film, dan sebuah karya film sebagai media dimana gagasan itu disampaikan.

Teks film merupakan kombinasi tanda-tanda dalam unsur sinematik yang berasal dari elemen-elemen; visual, audio, dan verbal dari medium pembentuk film. Dalam konteks bahasa (linguistik), teks film yang ada dalam struktur pembentuk film (shot, adegan, dan sekuen) merupakan pilihan paradigmatik. Dimana paradigma merupakan sekumpulan tanda yang tanda apa pun dari kumpulan tersebut bisa dipertukarkan dalam konteks tertentu (Thwaites, 2009: 60).

Pada awalnya film Indie didefinisikan sebagai film dengan anggaran produksi yang relatif lebih kecil (sekitar 50 persen) dari anggaran produksi yang biasanya dikeluarkan oleh perusahaan atau studio film mainstream. Pada perkembangannya, film indie bergeser pada penekanan pengembangan karakter yang kuat dan alur cerita yang original, bahkan kontroversial. Film pendek, film eksperimental, dan film dokumenter dianggap sebagai bentuk dominan film indie. Perkembangan film indie seiring dengan momentum berkepanjangan lesunya film layar lebar (sinema). Dulu sebuah film dibuat di atas pita seluloid dengan biaya tinggi, penonton dan apresiator adalah orang-orang tertentu yang mampu pergi menonton film di bioskop. Semakin tersedianya teknologi pembuatan film yang mudah dan murah memungkinkan lebih banyak orang dapat mengakses dan terlibat dalam produksi film. Pembuatan film tidak lagi selalu harus berbiaya tinggi dan rumit, pemanfaatan produk teknologi visual digital dalam perfilman memungkinkan orang untuk membuat film dengan biaya murah dan mudah.

Secara umum film indie dikelompokkan berdasarkan format durasi, isi, dan ekspresi pembuat film ke dalam film pendek, dokumenter, dan eksperimental. Film indie saat ini ditandai dengan banyaknya variasi format, tema, genré,  gaya, dan membudayanya kegiatan-kegiatan dan diskusi yang berkaitan dengannya.

3.5 Proyek Film Indie sebagai Media Eksplorasi Kreatif

3.5.1 Gagasan Kreatif dalam Film

Jenis film ini mempunyai ciri-ciri dimana para sineas umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan (Himawan: 2008). Pembuatan proyek film melibatkan banyak sumberdaya termasuk ke dalamnya sumberdaya manusia dengan keahlian dan keterampilan khusus.

Ekspresi merupakan proses ungkapan emosional dan intelektual seseorang. Proses ekspresi dalam karya seni atau desain bisa diaktualisasikan melalui media – termasuk ke dalamnya adalah media film. Gagasan yang ingin disampaikan oleh sebuah film disajikan dalam bentuk formulasi teks film. Formulasi teks dilakukan oleh pengirim (kreator film), dan pada saat teks sampai kepada pembacanya (penonton film), teks tersebut akan berinteraksi dengan pembacanya tersebut. Saat berinteraksi, pembaca akan melakukan proses penafsiran makna (membaca isi teks), sekaligus bernegosiasi dengannya. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya (referensi) untuk berhubungan dengan kode (sistem tanda) atau tanda-tanda yang mengkonstruksi teks (Fiske, 2007). Seleksi dan kombinasi tanda-tanda dalam teks film merupakan upaya kreatif personal yang diungkap lewat aturan (tata ungkap) film akan menjadi gaya bertutur personal kreator film (sintagmatik) dalam mengungkapkan ide, gagasan, dan pesan yang hendak disampaikannya. Sintagma merupakan hasil dari pemakaian aturan konvensional untuk mengkombinasikan rangkaian unsur dari bermacam-macam paradigma (Thwaites, 2002: 61).

Komunikasi pesan berkaitan dengan produksi dan pertukaran (negosiasi) makna yang terjadi diantara pengirim dengan pembacanya. Merujuk kepada film sebagai sebuah media komunikasi dalam konteks pembangkitan makna, maka lewat bahasa film sebuah persoalan dinegosiasikan. Bahasa film – berupa kombinasi audio-visual, gerak dan verbal dikomunikasikan kepada penonton dengan harapan dapat diterima dengan baik, namun hal tersebut sangat tergantung kepada pengalaman mental, latar belakang budaya, dan pengetahuan serta pemahaman terhadap unsur-unsur naratif dan sinematik film dari penontonnya. Film sebagai sebuah teks budaya dianalogikan sebagai sebuah bahasa (linguistik), dimana terdiri dari tanda, sistem tanda dan makna dapat dibaca oleh pembacanya. Pada momen konsumsi, saat teks film “dinikmati dan dicerna” pembaca, diperlukan partisipasi aktif dan produktif dari pembacanya. Setiap teks dipahami dengan cara berbeda oleh kelompok orang berbeda dan pada waktu berbeda, seperti yang diutarakan oleh Christine Gledhill dalam John Strorey (2008: 84) sebagai sebuah pendekatan cultural studies.

3.5.2 Estetika dan Identitas Artistik dalam Film

Sutradara, berperan menjadi organizer sekaligus kreator yang berusaha mewujudkan gagasannya sekaligus menjadi pengendali bagi pelibat produksi dan pemeran film (Radiger, 2008). Seorang sutradara dituntut untuk memahami konsep cerita, karena pada dasarnya membuat sebuah film adalah menterjemahkan atau menginterpretasikan sebuah naskah menjadi sebuah tayangan – dalam bentuk visual atau gambar hidup dan suara, pada layar (screen) film. Di samping itu seorang sutradara juga harus memahami situasi lingkungan maupun suasana psikologis para pelibat produksi dan harus memahami bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan semua pelibat produksi. Sutradara bekerja pada semua fase produksi; mulai dari pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi. Namun lebih nampak pada saat proses produksi, dimana ia mengarahkan pemeran (aktor/aktris) dan pelibat produksi.

Sutradara menganalisa naskah, membuat konsep rencana induk dari segi teknis dan artistik bagi perwujudan naskah menjadi penuturan sinematik. Sutradara mengembangkan visi film dan menentukan bagaimana film itu akan “terlihat bentuknya” di layar nanti. Sutradara memberikan penafsiran bagi kepentingan penonton dengan pilihan teknik dan gaya ungkap menurut pandangan subyektif-interpretatifnya. Dalam mewujudkannya dia dibantu oleh pelibat khusus yakni kameramen (director of photography). Sutradara mengontrol aspek artistik dan dramatis film, di samping mengarahkan pelibat teknis produksi dan pemeran. Dia memilih dan menentukan pelibat produksi dan pemeran yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan film yang akan dibuat. Sutradara melakukan koordinasi proses kreatif sebagai upaya mencapai efesiensi kerja dan memberikan pengarahan terhadap penciptaan karya bagi pelibat produksi agar menjadi padu sebagai karya penuturan sinematik.

Semua pelibat produksi Film ini mempunyai peranan sebagai kreator yang menginterpretasikan naskah dan bekerja di bawah pengarahan sutradara. Di samping menginterpretasi naskah pelibat produksi juga memproduksi penggunaan tanda dan kode bahasa sesuai dengan kepakarannya masing-masing melalui medium ungkap pilihannya (visual, gerak, audio, dan ruang). Sutradara  memberikan keleluasaan interpretatif pada naskah dan memberikan ruang bagi ketertarikan atas event produksi tanda kepada pelibat produksi, sehingga medium yang digunakannya sudah menjadi pesan dan identitas gaya ungkap film. Interpretasi naskah dan event produksi tanda dari semua pelibat produksi diorganisasikan dan melebur dalam bingkai mata kamera sesuai interpretasi-subyektif sutradara – yang interpretasi oleh kameramen dalam bentuk shot sebagai satuan unit terkecil film. Sutradara melakukan penilaian dan memberikan keputusan akhir atas mutu pekerjaan seluruh unit pelibat produksi baik secara teknis maupun artistik. Pada bagian akhir sutradara mengarahkan penyunting gambar dan penata musik dalam rangkaian shot-adegan-sekuen, serta memberi penilaian dan keputusan akhir atas kualitas karya dalam bentuk “release copy”. Apa yang ada dalam “release copy” itulah yang akan nampak di layar (screen), yang menjadi sebuah tontonan.  Film menjadi sebuah karya penuturan sinematik dengan gaya ungkap artistik dan narasi dramatik sutradara (Belasunda, 2012).

4. Kesimpulan

Model pembelajaran Project Base Learning dengan pembuatan proyek film indie dianggap sebagai pilhan metode pembelajaran yang mampu menumbuhkan eksplorasi kreatif pada peserta didik yang melaksanakannya. Pada gilirannya pendekatan tersebut diharapkan menjadi pendekatan yang efektif dalam pencapain tujuan pembelajaran pendidikan seni.

Dalam proyek film indie tersebut, peserta didik  sebagai individu (kreator) melakukan eksplorasi kreatif untuk mengekspresikan gagasan dan pesan yang hendak disampaikannya. Ekspresi gagasan kreator sebagi proses ungkapan emosional dan intelektual diformulasikan ke dalam teks film. Seleksi dan kombinasi tanda-tanda dalam teks film merupakan upaya kreatif personal yang diungkap lewat aturan (tata ungkap) film akan menjadi gaya bertutur personal kreator film (sintagmatik) dalam mengungkapkan ide, gagasan, dan pesannya tersebut. Ekplorasi kreativitas tidak hanya berhenti pada tataran gagasan, akan tetapi bagaimana gagasan tersebut dapat direalisasikan pada tahap produksi melalui manajemen inovasi. Manajemen inovasi berkaitan dengan elemen-elemen; (a) manusia dan gagasan, (b) transaksi, yang terdiri dari struktur organisasi, desain pekerjaan, strategi organisasi, dan sumber daya, (c) konteks, yang terdiri dari konsep kepemimpinan, budaya, dan lingkungan eksternal. Kreativitas terwujud melalui manajemen inovasi.

5. Pustaka

Danesi, Marcel., (2009). Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Penterjemah: Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari. Jalasutra, Yogyakarta.

Depdiknas., (2004). Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama (SMP). BalitbangDiknas,  Jakarta:.

Fiske, John., (2007). Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Penterjemah: Drs. Yosal Irianta dan Idi Subandy Ibrahim. Jalasutra, Yogyakarta.

Fritzgibbon, Mariam., (2001). Managing Innovation in The Arts: Making Art Work. Quorum Books,  Westport:

Radiger, Michael., (2008). Directing: Film Techniques and Aesthetic: Fourth Edition. Elsevier & Focal Press, Amsterdam.

Storey, John., (2008). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode. Penterjemah: Layli Rahmawati. Jalasutra, Yogyakarta.

Belasunda, Riksa., (2012). Tesis: Hibriditas Medium pada Film “Opera Jawa” Karya Garin Nugroho Sebagai Sebuah Dekonstruksi. Institut Teknologi Bandung.

Suharjoko, Agus., Available: http://tanahkapor.blogspot.com/2009/ 20 September 2014


Leave a Reply